Cari Blog Ini

Minggu, 14 Februari 2010

Menengok Sejarah Korupsi Kita


Seperti gelombang unjuk rasa menentang korupsi yang terjadi 9 Desember kemarin, pada 15 Januari 1970, para insan cendekia yang tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan juga memadati jalan di Jakarta meriakkan protes korupsi. Aksi itu merupakan aksi fenomenal dengan banyak kerusuhan dan korabn hingga Pak Harto, Presiden waktu itu kelimpungan dibuatnya. Stabilitas nasional terancam, ekonomi yang gencar dibangun bisa ambruk, demikian dalih pemerintah kala itu. Pasukan khusus angkatan darat sgeras bersiaga mengendus stiap kemungkinan buruk yang mungkin muncul. Pak Harto kemudian juga segera membentuk Komisi IV dengan tugas mereview pokok masalah dan merumuskan saran terbaik terkait isu korupsi yang berkembang luas.

Selama beberapa bulan, kerja Komisi IV disibukkan dengan mencari setiap indikasi korupsi yang terjadi. Termasuk mendengarkan suara dari media, mahasiswa, tokoh-tokoh politik dalam satu kesempatan dengar pendapat. Hasil rekomendasi yang dirumuskan Komisi IV, oleh Pak Harto kemudian diumumkan pada peringatan HUT RI tahun yang sama. Dengan tegas pak Harto menyatakan [kurang lebih] ” Tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa saya sendiri yang akan memimpin perang melawan korupsi.”

Pernyataan Pak Harto itu dampaknya besar. Isu tentang korupsi surut secara signifikan hingga kebijakan nasional terutama ekonomi kembali pada jalurnya yang mantap.

Meski terdengar sepi, namun masalah korupsi tak pernah sama sekali hilang. Ini sebab memang pokok dan akar korupsi tidak pernah tuntas diberantas. Yang diredam hanya suara-sura sumbang dipermukaan.

Korupsi di Indonesia meminjam perkataan Bung Hatta yang dimuat dalam Indonesian Observer, Juli 1970, korupsi sudah menjadi seni dan merupakan dari budaya. Sebuah keniscayaan yang sedih.

Sebelum kesedihan semakin dalam dan hanya menjadi latah turut serta dalam gerakan anti korupsi, kiranya perlu didefinisikan dulu ihwal tentang korupsi sendiri. Istilah korupsi merujuk pada penggunaan sumber daya publik untuk kepentigan pribadi. Definisi ini tidak hanya tentang uang namun juga politik dan jabatan yang menyalahgunakan jabatan untuk meraup keuntungan pribadi. Definisi juga berlaku untuk penunjukan seseorang yang masih sanak saudara mengelola sumber daya publik. Yang ini galibnya disebut nepotisme.

Korupsi menurut rumusan Theodore M. Smith, dapat digolongkan menjadi beberpa tipe. Pertama berdasarkan skala. Korupsi dimulai dengan sebuah manipulasi besar pada tingkat paling atas kemudian terus mengecil pada tingkat paling bawah. Istilah awam menyebutnya uang pelicin [speed money] pada level menengah dan uang rokok untuk korupsi kelas teri. Tipe skala korupsi ini bisanya terjadi di lembaga pemerintahan dari pusat hingga kelurahan.

Kedua, korupsi dapat dilihat penyimpangan aset dlewat berbagai cara oleh pejabat yang bersangkutan. Ada yang langsung membelokkan anggaran dibawah otoritasnya. Adapula yang meminta jatah dari pihak swasta yang mencari previlage atau layanan birokrasi.

Sementara tipe ketiga, Korupsi berhubungan dengan target prakteknya. Sebuah penelitian pada tahun 1969 menunjukkan bahwa target korupsi waktu itu yang paling banyak terjadi adalah untuk tujuan Uang. Yang mengejutkan, kourpsi waktu juga sudah marak terjadi dan menempati posisi kedua. Peringkat ketiga korupsi diisi oleh penyalahgunaan wewenang dan posisi.

Dari sedikit catatan sejarah itu, ada hikmah yang dapat dipetik bahwa gelombang penolakan terhadap korupsi adalah sejarah yang berulang seperti yang terjadi pada peringatan hari Anti Korupsi se-Dunia 9 Desember kemarin. Di balik antusiasme besar akan pemberantasan korupsi, penyakit ini juga menyimpan sejarah yang terus berproses. Namun amat disayangkan proses itu bukan menuju arah perbaikan. Korupsi tetap menjadi budaya, bahkan seni karena bisa menghibur kita dengan dramanya yang heroik dan hiruk pikuk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar